Tangismu wahai bayi-bayi tanpa
kepala...dibentur ditembok-tembok
Palestina...jeritmu wahai bayi-bayi
Afghanistan...yang memanggil-manggilku
tanpa lengan...dieksekusi bom-bom
jahannam...milik setan Amerika dan Sekutu...saat ayah bundamu menjalani
Ramadhan!
Ini aku,saudaramu...ini aku,datang
dengan secuil bombing...kan kubalaskan
sakit hatimu...kan kubalaskan darah-
darahmu...darah dengan darah...nyawa dengan nyawa...qishash!!
Itulah sepenggal puisi Imam
Samudra.bait-bait yang mereflesikan
apa,mengapa,kepada siapa,dan
bagaimana ia melawan. Dari balik jeruji
besi,sembari menunggu proses eksekusi atas ganjaran pidana mati, ia menorehkan
catatan-catatan harian.Sebagai sebentuk
pertangguhjawaban kepada publik atas
apa yang ia dan kawan-kawannya lakukan
di Bali pada 12 Oktober 2002.
Apa yang ia dan kawan-kawannya lakukan di Bali,tak lain adalah bentuk reaksi
perlawanan terhadap penindasan ;
Amerika dan sekutunya. Bangsa yang
oleh Amnesti Internasional
dikarunia”penghargaan” sebagai pelanggar HAM terburuk selama 50 tahun
terakhir. Bangsa yang oleh Human Right
Report 2002 dan Human Right Watch
dinobatkan sebagai pelanggar HAM
terburuk dan terberat di dunia. Bangsa
yang publik umum memahami sebagai biang teroris. Karenanya,buku ini berjudul,
Aku Melawan Teroris.
“Saya melakukan jihad pada titik-titik ikhtilaf.”demikian tulisannya. Sebuah ungkapan atas sebuah pilihan jalan dari
ragam jalan perjuangan yang ditempuh
oleh umat Islam.Ia sadar bahwa
langkahnya kontrovesi.Meski demikian,ia
menyakinkan jalan yang ditempuhnya.
Dan keyakinan itu, didasarkan atas sebuah model pemahaman Islam yang ia
anut. Apa itu? Ia menjelaskannya dalam
buku ini.
Terlepas kita setuju atau tidak,buku Imam
Samudra, Aku Melawan Teroris, tetap
menarik untuk dibaca. Sebagai upaya mengenal lebih jauh apa dan siapa Imam
Samudra,termasuk jalan perjuangannya.
Terlebih gaya penulisan yang
bertutur,reflektif,gaul,kadang
jenaka,menjadikan kita mudah mengikuti
'gagasan ide'yang ia sampaikan,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar