Rabu, 20 Oktober 2010

Mohon Rizki

Setiap umat beragama pasti akan merasa dirinya mempunyai kekurangan, dan salah satu cara untuk mengatasi kekurangan tersebut adalah memohon kepada Yang Maha Kuasaagar apa yang diinginkannya dapat terpenuhi diantaranya terpenuhi keperluan keluarga berupa rizki.
Dalam kesempatan ini akan saya sampaikan do’a dan beberapa hal agar rizki seseorang mendapat keberkahan, dan amal sholeh dapat mendatangkan keberkahan antara lain yaitu :
1.Mensyukuri Segala Nikmat.
2.Memperbanyak membayar Zakat atau sedekah.
3.Bekerja mencari rizki dengan hati qona’ah 4.Bertobat dari segala perbuatan dosa.
5.Menyambung tali silaturrahmi.
6.Mencari rizki dari jalan yang halal.
7.Bekerja mulai waktu pagi.
8.Dalam berusaha jangan merasa jemu dan kecewa karena Allah beserta orang- orang yang sabar.
Sedang do’a yang dapat anda lakukan adalah do’a apa saja, yang penting tahu apa yang anda minta, dilakukan dengan tulus dan dengan tujuan yang baik.
Misalnya anda ingin minta rizki :
1.“YA ALLAH BERIKANLAH AKU RIZKI YANG BAIK UNTUKAKU GUNAKAN.... SUPAYA AKU ......
2.Membaca Bismilah 3 x sebelum berangkat mencari rizki.
3.“ALLOHUMMA AS-ALUKA RIZQON HALALAN THOYYIBA, FAINKAANA RIZQI FISSAMA-I FA-ANZILHU WAINKAANAFIL ARDLI FA-AKHRIJHU, WAINKAANA MU’ASSIRON FAYASSIRHU, WA-INKAANA BA’IIDAN FAQORRIBHU” ( Ya Allah, saya mohon kepada Mu rizki yang halal dan baik, maka apabila rizki itu di langit maka turunkanlah, dan apabila di bumi maka keluarkanlah, dan apabila sulit mudahkanlah, dan apabila jauh maka dekatkanlah)
4.Memperbanyak sholat dhuha, karena hikmah sholat dhuha adalah memperlancar rizki.
5.Mengamalkan membaca Surat Waqi’ah 3 x ba’da sholat Shubuh untuk memperlancar rizki.
6.Sholat Hajat.
7.Membaca “LAILAAHA ILLALLAH ALMALIKUL HAQQULMUBIN, MUHAMMADAR RASULULLAH SHODIQUL WA’DIL AMIIN” bisa dibaca 100 x pagi dan 100 x petang.
8.Dalam berdo’a jangan merasa jemu dan kecewa karena Allah beserta orang-orang yang sabar.

Jumat, 15 Oktober 2010

Tranfortasi Bitaro - BNI46

Transportasi Exclusive Bintaro,
Wisma BNI 46

Tranfortasi Bintaro - BNI46

Transportasi Exclusive Bintaro,
Wisma BNI 46

Rabu, 13 Oktober 2010

copas dari fb bro yusing

Alam Pikiran Arsitek Asli (Bukan
Asal) October 13th, 2010 | Published in Book Review Mimpi Rumah Murah Penulis: yu sing
Penerbit: TransMedia, 2009
Tebal: xii + 92 hlm
Harga: Rp 37.000 Gilakah orang yang bermimpi ingin punya
rumah? Pastinyanya tidak. Setelah
sandang, siapapun perlu papan. Tapi,
wajarkah memimpikan ingin punya rumah
yang dibangun tanpa bantuan jasa
arsitek? Wah, kalau Anda termasuk penganut mimpi aliran ini, jujur saja, Anda
terlalu berani! Meskipun dengan alasan
penghematan? Tetap kelewat berani!
Atau sebenarnya kita kelewat takut? Sebagai pembuat film, perkenankan saya
untuk memperkenalkan istilah ‘ilmu casting’. Artinya, soal mahal/tidak mahal sangatlah tergantung pada pemilihan
arsitek yang bagaimana dulu.
Menganggap semua arsitek itu mahal
sama dengan mengganggap semua
pembuat film punya penghasilan tinggi.
Bersyukurlah karena sebetulnya dalam dunia arsitektur Indonesia, Anda masih
bisa memilih jasa arsitek mulai dengan
rentang harga-tinggi hingga tidak-
(kelewat)-tinggi. Di dunia film? Anda bisa
menemui sejumlah pekerja film yang
berpenghasilan-(relatif)-tinggi sampai dengan semoga-(masih)-berpenghasilan.
Apa hubungan kedua bidang ini? Di jaman ini, membuat film dengan biaya
rendah atau bahkan tanpa biaya sama
sekali, bukanlah hal luar biasa. Tak jarang
dalam kondisi serba terbatas, sejumlah
karya film justru bisa memperoleh
pencapaian artistik yang tinggi dan substansi mendalam. Nah, ketika ada
arsitek-arsitek yang mencoba merancang
rumah berbiaya terbatas (membatasi
‘kemewahan’ anggaran dengan menekankan pada fungsi serta esensi),
muncullah pertanyaan: apa yang
sebetulnya ingin mereka cari? Dengan
preseden tersebut, mari kita mengulas
buku Mimpi Rumah Murah yang ditulis
oleh arsitek yu sing, dan mencoba memahami pertanyaan-pertanyaan utama
yang selalu ia lontarkan sebelum mulai
membuat rumah murah: ‘Kenapa sebuah rumah harus dibangun? Untuk siapa?
Bagaimana rumah itu kelak meningkatkan
kualitas hidup para penghuninya?’ Pertanyaan Soal Hidup, Ruang-
Ruang Kehidupan, dan Kualitas
Hidup Sejak masa kuliah, yu sing kerap
bertanya, “Buat apa, sih, saya HIDUP?” (h. viii). Bertahun-tahun kemudian, setelah ia lulus, yu sing tetap
berupaya menjawab pertanyaan
tersebut. Salah satu bentuk jawabannya
adalah melalui gagasan membangun 100
rumah, yang delapan di antaranya, bisa
kita lihat rancangannya dalam buku ini. Gagasan rumah murah itu menurut yu
sing, mulai muncul sekitar tahun 2008. Di bagian pembuka, yu sing berpendapat
bahwa jasa arsitek dalam menciptakan
ruang-ruang hidup keseharian yang
berkualitas (peningkatan interaksi antar
penghuni dan pemaksimalan fungsi
rumah) bisa mendorong sikap hidup para penghuninya menjadi lebih positif.
Sehingga,”...kualitas hidup manusia- manusia positif ini seharusnya bisa ikut
menentukan wajah bangsa kita menjadi
lebih baik.” (h. ix). Menarik untuk mulai menelusuri cara
berpikir yu sing melalui pernyataannya di
bagian awal buku ini. Pertama, yu sing
berpendapat bahwa seorang arsitek tidak
hanya ‘menjual jasa’, tapi juga ‘melayani’ dan ‘ikut memberi’. Kedua, ia mengintepretasikan fungsi ‘pelayanan’ seorang arsitek ke tingkatan yang lebih
mendasar daripada sekadar pemasok
perwujudan ‘gaya hidup’ segelintir orang berada. Ringkasnya, yu sing mencoba
meyakinkan kita (mungkin termasuk juga
rekan-rekan seprofesinya), bahwa selalu
ada ruang yang terbuka lebar bagi para
arsitek untuk turut melahirkan karakter
manusia-manusia yang disebutnya ‘positif’. Hal tersebut ditekankan dalam penuturannya tentang rumah, yaitu: “… ruang utama yang menjadi pusat
pertumbuhan dan pembentukan kualitas
manusia.” (h. viii). yu sing sejak awal telah sadar bahwa gagasan rumah murah
ini merupakan proyek jangka panjang,
dan bukan sekadar pengisi waktu luang. Dalam waktu kurang dari enam bulan
(sejak Maret 2008), gagasannya tentang
rumah murah segera direspon oleh sekitar
40 keluarga dari berbagai daerah di
Indonesia. yu sing mengakui bahwa dari
rencana awal 40 keluarga, tak seluruhnya tuntas berproses bersamanya dalam
mewujudkan impian mereka karena
adanya halangan-halangan tertentu. Buku
ini berisi perjalanan dari delapan rumah
murah (dari keseluruhan rencana 40
rumah) yang diulasnya berdasarkan kebutuhan, konteks, dan kebutuhan
yang beragam. Bagi yang kerap berkunjung ke toko-toko
buku utama, coba bayangkan, di mana
buku Mimpi Rumah Murah ini idealnya
dipajang? Mimpi Rumah Murah tak sejalan
dengan kebanyakan buku arsitektur yang
lebih menjual gaya hidup ketimbang esensi perancangan rumah dan jelas-jelas
turut berdosa dalam mengonfirmasi mitos
mahalnya jasa arsitek. Mimpi Rumah
Murah juga jelas tidak menjual foto-foto
indah sejumlah ‘produk jadi’. Dan karena buku ini bukan manual atau petunjuk
bagaimana membangun rumah dengan
biaya murah, maka menempatkan Mimpi
Rumah Murah di jajaran ‘buku petunjuk’ juga bukanlah langkah yang tepat. Memang benar bahwa Mimpi Rumah
Murah berada di ranah arsitektur, namun
ia lebih menawarkan gagasan yang lahir
dari keresahan sang penulis/arsiteknya
dan bagaimana ia menceritakan
perjalanannya tersebut. Jadi, bagaimana cara yang pas untuk ‘membaca’ Mimpi Rumah Murah? Dan kenapa ia amat layak
dibaca? Bahkan oleh mereka yang belum
berencana membangun rumah? Sebuah Jurnal (Tanpa Jaim) yu sing membuka catatannya dengan
mengajak pembaca memahami konsep
‘rumah tumbuh’ melalui proyek renovasi rumah di Caringin, Bandung. Konsep
renovasi rumah ini dirancang sedemikian
rupa agar bisa dibangun dalam beberapa
tahap, sesuai dengan ketersediaan dana
pemilik rumah. Selain itu, konsep rumah
tumbuh ini juga memungkinkan klien untuk menggunakan 80-90% material
bekas. Di fase berikut, yu sing dan timnya
sempat mengusulkan kepada pemilik
untuk meniadakan ruang tamu dan
sebagai gantinya menerima tamu di teras
depan. Namun karena tawaran ini kurang sejalan dengan tata krama lingkungan
sekitar, maka akhirnya yu sing dan sang
penghuni memutuskan untuk mendesain
ruang tamu fleksibel yang bisa dibuka-
tutup sesuai dengan keperluan
penggunaan. Kemudian yu sing membawa kita ke
Pontianak, pada sosok pasangan suami
istri yang mengenal sang arsitek melalui
sebuah blog (yu sing sendiri belum
pernah berkunjung ke blog itu).
Pasangan Pontianak tersebut, seperti ditulis yu sing, sebetulnya baru saja
merenovasi rumah mereka, namun sang
istri kemudian terpanggil untuk
menunaikan ibadah haji. Mereka lalu
memutuskan untuk menjual rumah
mereka, membangun rumah baru yang lebih murah dan mengalokasikan sebagian
anggaran untuk menunaikan ibadah haji
(h. 15). Setelah mempelajari Rumah
Panjang suku Dayak serta mengenali
materi-materi dasar yang tersedia di
Pontianak, yu sing dan tim menawarkan desain adaptasi Rumah Panjang kepada
keluarga klien, yang ditanggapi dengan
positif. Yang menarik dari proyek ini
adalah bagaimana yu sing dan tim berhasil
berkomunikasi dengan klien yang
berdomisili jauh dari tim arsitek. Meski dengan frekuensi bertemu yang sedikit
(kebanyakan komunikasi dilakukan via
telepon/internet), tampaknya tak ada
informasi penting yang terlewat oleh
pihak yu sing dan timnya. Termasuk
informasi tentang ketersediaan material yang relatif lebih mudah dan murah
diperoleh di kawasan tinggal klien. Klien yu sing yang berikut adalah pasangan
yang menetap di kawasan Rempoa.
Keluarga ini pernah mengalami peristiwa
traumatis di mana rumah mereka menjadi
sasaran perampokan. Solusi yu sing dan
tim bukanlah menganjurkan keluarga tersebut untuk menyewa jasa satpam
atau mantan marinir, melainkan konsisten
dengan cara yang mereka terapkan pada
para klien sebelumnya, yaitu mengenali
keluarga Rempoa ini terlebih dulu,
mencatat beragam aspek kehidupan serta dinamika kehidupan mereka. Yu
sing mewujudkannya ke dalam sebuah
rancangan dengan satu akses pintu
masuk, yang tetap didesain terbuka di
bagian dalam. Keunikan yu sing terlihat ketika ia kerap
menertawakan diri sendiri seperti saat
keluarga klien Rempoa mengira ia
ngambek akibat terlambat menjawab e-
mail. Atau ketika putra klien Pontianak
menyangka area tempat jemur pakaian yang dirancang dari susunan kayu sebagai
tempat memelihara kambing, yu sing
mencatat, “Memang, desain tidak ada yang sempurna.” (h. 21). Sebetulnya, alangkah mudahnya bagi yu sing untuk
meniadakan catatan-catatan seperti ini
demi kepentingan ‘jaim’ (jaga image- istilah gaul, ed.). Kemudian, yu sing muncul di saat yang
tepat di Palembang ketika salah satu
kliennya (pasangan suami istri) nyaris
‘menjelma’ menjadi arsitek. Rancangan tawaran yu sing dan timnya kali ini
mengadaptasi metafora dari rumah
Palembang yang digambarkannya sebagai,
“…sebuah tulang punggung dengan beberapa tulang rusuk.” (h. 48), di mana fungsi ruang publik ditampung dalam
‘tulang punggung’, sementara ruang- ruang lainnya menempati ‘tulang-tulang rusuk’. Dan “Dinding anyaman rumah ini akan berfungsi seperti kulit manusia yang
memiliki pori-pori untuk bernapas.” (h. 53). Salah besar jika kita mengira bahwa
semua klien segera mengiyakan ajakan
kerja sama yu sing dan timnya. Seorang
ibu di Lombok perlu diyakinkan selama
berhari-hari sebelum akhirnya
menyanggupi rumahnya didesain oleh yu sing dan tim. Dengan dana awal sekitar
50 juta rupiah, rumah itu dirancang
sebagai rumah tumbuh. Apa alasan yu
sing untuk bekerja ekstra keras
membujuk klien rumah murah yang ragu-
ragu? yu sing mengatakan bahwa ia merasa mendapat ‘bayaran’ ekstra ketika klien mampu mengapresiasi rumah murah
secara lebih tulus, tak hanya ‘terima jadi’ karena mampu membayar jasa. Klien berikut yu sing adalah pasangan
muda gebyar hobi ‘berani’. Sang suami/ bapak di antaranya hobi berburu babi,
panjat tebing, arung jeram, dan
mengendarai motor trail. Syukurlah
karena beliau mengambil keputusan
untuk tetap menghubungi yu sing dan
tim guna merancang rumah yang pas baginya dan keluarga. Hasilnya adalah
sebuah rumah unik yang sangat
berkarakter di kawasan Setiabudi
Regency, Bandung. Rumah yang ketujuh berada di kawasan
Kiarasari, Bandung. Rumah yang dibangun
di atas tanah seluas 172 meter persegi ini
dirancang untuk mampu menampung
700 pohon. Pagar rancangan yu sing dan
tim dibuat dari pipa-pipa pralon berdiameter 15 cm dan digantungkan
pada rangka yang terbuat dari besi
beton. Di dalam pipa-pipa itulah pot-pot
tanaman ditaruh. Rumah kedelapan berlokasi di Timika,
Papua. Rumah ini terdiri dari tiga massa
(massa rumah pertama berisi ruang tamu,
kamar mandi, dan ruang tidur; massa
kedua terletak di belakang yang pertama
merupakan kamar tidur utama dengan kamar mandi di sampingnya; massa ketiga
terdiri dari dua lantai yang berfungsi
sebagai ruang aktifitas keluarga). Siapa ‘Bintang’ Rumah Murah dan (Sekali Lagi) Kenapa Penting? Yang lebih menarik ketika membaca buku
Mimpi Rumah Murah adalah saat kita
melihat hubungan antara tim arsitek
dengan pemilik juga latar belakang sosial/
budaya dan kondisi lokasi tempat tinggal
pemilik; bagaimana semua itu melebur menjadi dasar desain rumah yang hendak
dibangun. Dengan cara pendekatan yang
dipakai yu sing dan timnya, dapat
dipastikan bahwa tak akan pernah ada
dua rumah yang sama persis bila
pemiliknya berbeda. Cobalah berandai- andai membayangkan apa yang terjadi
bila keluarga Rempoa bertukar tempat
tinggal dengan keluarga bapak pemburu
di Setiabudi Regency? Keunikan desain-
desain rumah itu bisa menjadi kurang
berarti karena tidak mencerminkan karakter atau memenuhi kebutuhan
siapapun yang bukan penghuni secara
maksimal. Dan, pemahaman yang
terdengar sederhana namun sulit
dijabarkan inilah yang bisa membebaskan
kita dari kepura-puraan pemahaman soal estetika, aliran ini-itu, dan terutama dari
tren: momok besar yang sudah merusak
entah berapa banyak orang dengan istilah
‘gaya hidup’. ‘Bintang’ di dalam desain rumah murah versi yu sing dan tim adalah para pemilik
rumah, sehingga pihak nomor satu yang
harus mampu terkesan adalah mereka,
bukan orang lain. Barangkali ini pula yang
membuat tim arsitek yu sing wajib
memiliki kemauan luar biasa untuk mengenali klien mereka sebagai individu
yang utuh. Tampaknya hanya dengan cara
itulah yu sing dan timnya bisa keluar dari
‘keganjenan’ desain dengan sistem ‘tempelan asal keren’. yu sing dan timnya memiliki kuesioner bagi seluruh calon klien
mereka (terdiri dari 14 pertanyaan, tidak
dimuat di dalam buku ini). Bagian
terpenting, menurut saya adalah
pertanyaan nomor tujuh, di mana arsitek
dan tim meminta calon klien menceritakan sebanyak mungkin soal
kehidupan keseharian, termasuk hobi,
dan harapan mereka. Karena jawaban atas
pertanyaan inilah yang menjadi kunci
dalam memformulasikan desain rumah
bagi klien-klien rumah murah yu sing dan timnya. Bagaimanapun, sebuah desain bukanlah
bentuk akhir. Sama halnya dengan
skenario yang baru akan tampak dan
dapat dipahami secara utuh setelah
menjadi sebuah film. Oleh karena itu,
kekuatan sekaligus kelemahan buku Mimpi Rumah Murah terletak pada gagasan yang
tertuang melalui tulisan yu sing yang tidak
disertai ilustrasi/gambar produk jadi. Isi
yang terasa personal mungkin lebih pas
jika disandingkan dengan ilustrasi yang
tidak sedingin gambar-gambar 3D, sehingga membuka ruang untuk
memasuki kawasan bacaan yang lebih
umum. Bukankah boleh-boleh saja
seorang arsitek menuliskan gagasannya
tanpa perlu menjadi serba teknis? Dalam format yang ada saat ini, hasil akhir
beberapa rancangan di dalam Mimpi
Rumah Murah harus dilihat melalui sumber
lain (blog/situs yu sing, beberapa majalah
yang pernah meliput karya yu sing dan
tim, dll). Seorang kawan yang mendengar nama yu sing dan melihat
gambar/foto beberapa karya yu sing di
internet berkomentar, “Oke sih, tapi belum seedan Tan Tjiang Ay. ” Saya balik berkomentar, “Yoda juga nggak ujug- ujug jadi Yoda kaleee…”. Atau, bisa jadi kekuatan desain rumah murah karya yu
sing dan tim lebih dahsyat saat diapresiasi
secara keseluruhan, sejak gagasan rumah
murah lahir, hingga prosesnya menjadi
bentuk yang utuh. Membaca buku ini memang tidak lengkap
tanpa adanya refleksi: sejauh apa kita
pernah mempertanyakan relevansi
sebuah profesi dengan kepentingan
orang banyak di luar sana? Selain itu,
kontribusi terbesar dari Mimpi Rumah Murah adalah terbukanya dialog soal
rumah serta peran arsitek di luar garis
‘gaya hidup’, ‘investasi’, skema KPR/KPA, atau iklan properti yang banal dan tak
pernah berhasil menyentuh pertanyaan
yang paling mendasar: mengapa setiap
orang perlu dan sebetulnya berhak
memiliki tempat tinggal yang manusiawi? [Prima Rusdi] Buku Mimpi Rumah Murah bisa didapatkan di Rumah Buku/Kineruku